MAKALAH TENTANG SISTEM EKONOMI ISLAM

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Diperlukan sistem ekonomi untuk menjalankan kegiatan ekonomi pada suatu Negara, sistem yang dipergunakan akan menjadi mekanisme kegiatan ekonomi itu sendiri yang sesuai dengan aturan sistem tersebut.
Ada beberapa sistem ekonomi yang digunakan di dunia saat ini seperti sistem ekonomi sosialis, sistem ekonomi kapitalis, sistem ekonomi kesejahteraan negara, sistem – sistem tersebut merupakan buah hasil pemikiran manusia terutama bangsa barat sehingga ada kekurangan dan kelebihan masing – masing karena sistem tersebut buatan manusia.
Berbeda halnya dengan sistem ekonomi islam yang berdasarkan Al-qur’an dan Hadits sehingga tidak ada keraguan pada kekurangannya karena sistemnya yang sudah sempurna langsung dari Allah SWT.

Sistem ekonomi syari’ah lebih ditujukan untuk mencari suatu sistem ekonomi yang mempunyai kelebihan-kelebihan untuk menutupi kekurangan-kekurangan dari sistem ekonomi yang telah ada sesuai dengan tujuan Islam diturunkan ke muka bumi untuk mengatur hidup manusia guna mewujudkan ketentraman hidup dan kebahagiaan umat di dunia dan di akhirat sebagai nilai ekonomi tertinggi. Jadi harus ada keseimbangan dalam pemenuhan kebutuhan hidup di dunia dengan kebutuhan untuk akhirat.
1.2. Maksud dan Tujuan
Hanya untuk sekedar membahas ekonomi islam agar lebih memahami bagaimana sistem ekonomi dalam islam, adapun tujuan yang diharapkan bisa tercapai adalah sebagai berikut:
1. Memahami betul sistem ekonomi syari’ah beserta dasar, etika, dan tujuan yang akan dicapai .
2. Dapat mengimplementasikan sistem ekonomi syari’ah dengan baik sesuai dengan aturannya atau dengan meneledani cara Rasulullah SAW.
3. Dapat mengembangkan dan memajukan sistem ekonomi syari’ah menjadi lebih baik dari sebelumnya.
4. Selalu berpegang teguh pada Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai dasar sistem ekonomi Syari’ah.
Mudah – mudahan makalah ini dapat menambah wawasan akan sistem ekonomi syari’ah.

1.3. Metode Riset
Makalah ini dibuat berdasarkan hasil beberapa metode riset, yaitu:
1. Observasi
Melakukan observasi langsung terhadap beberapa lembaga ekonomi berbasis syari’ah dan menjelajah di dunia maya.
2. Wawancara
Melakukan wawancara langsung kepada seorang narasumber yang benar – benar mengerti tentang sistem ekonomi syari’ah.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Ekonomi Islam
Berbagai ahli ekonomi Muslim memberikan definisi ekonomi syariah yang bervariasi, tetapi pada dasarnya mengandung makna yang sama. Pada intinya ekonomi syariah adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang berupaya untuk memandang, menganalisis, dan akhirnya menyelesaikan pemasalahan-permasalahan ekonomi dengan cara-cara yang islami. Yang dimaksud dengan cara-cara islami adalah cara-cara yang didasarkan atas dasar agama islam, yaitu al-Quran dan as-Sunnah. Dengan pengertian seperti ini maka istilah yang juga sering digunakan adalah ekonomi islam.

2.2. Dasar Ekonomi Islam
Dasar ekonomi islam digali dari Al-Qur’an dan Hadits sehingga mempunyai beberapa prinsip dasar :
2.2.1. Tawhid
Menjadi landasan utama bagi setiap umat Muslim dalam menjalankan aktivitasnya termasuk aktivitas ekonomi. Prinsip ini merefleksikan bahwa penguasa dan pemilik tunggal atas jagad raya ini adalah Allah SWT. Prinsip Tawhid ini pula yang mendasari pemikiran kehidupan Islam yaitu Khilafah (Khalifah) dan ‘Adl (keadilan).
2.2.2. Khilafah
Mempresentasikan bahwa manusia adalah khalifah atau wakil Allah di muka bumi ini dengan dianugerahi seperangkat potensi spiritual dan mental serta kelengkapan sumberdaya materi yang dapat digunakan untuk hidup dalam rangka menyebarkan misi hidupnya. Ini berarti bahwa, dengan potensi yang dimiliki, manusia diminta untuk menggunakan sumberdaya yang ada dalam rangka mengaktualisasikan kepen-tingan dirinya dan masyarakat sesuai dengan kemampuan mereka dalam rangka mengabdi kepada Sang Pencipta, Allah SWT.

2.2.3. Adl (Keadilan)
Merupakan konsep yang tidak terpisahkan dengan Tawhid dan Khilafah,karena prinsip ‘Adl adalah merupakan bagian yang integral dengan tujuan syariah (maqasid al-Syariah). Konsekuensi dari prinsip Khilafah dan ‘Adl menuntut bahwa semua sumberdaya yang merupakan amanah dari Allah harus digunakan untuk merefleksikan tujuan syariah antara lain yaitu; pemenuhan kebutuhan (need fullfillment), menghargai sumber pendapatan (recpectable source of earning), distribusi pendapatan dan kesejah-teraan yang merata (equitable distribution of income and wealth) serta stabilitas dan pertumbuhan (growth and stability)

2.3. Tujuan Ekonomi Islam
Tujuan akhir ekonomi islam adalah sebagaimana tujuan dari syariat islam itu sendiri ( maqashid asy syari`ah ) yaitu mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat (fala ) melalui suatu tata kehidupan yang baik dan terhormat ( hayyah thayyibah ). Tujuan falah yang ingin dicapai oleh ekonomi islam meliputi aspek mikro ataupun makro, mencakup horizon waktu dunia maupun akhirat. Menurut As-Shatibi tujuan utama syariat islam adalah mencapai kesejahteraan manusia yang terletak pada lima ke-mashlahah-an yaitu, keimanan ( ad-dien ), ilmu ( al-‘ilm ) , kehidupan ( an-nafs ), harta ( al-maal ), dan keturunan ( an-nasl). Kelima mashlahah tersebut pada dasarnya merupakan sarana yang sangat dibutuhkan bagi kelangsungan kehidupan yang baik dan terhormat. Mashlahah dapat dicapai hanya jika manusia hidup dalam keseimbangan ( equilibrium ), sebab keseimbangan merupakan sunahtullah.

2.4. Harta, Usaha, dan Keuntungan
Dunia usaha adalah dunia harta. Dunia usaha berputar dari masa klasik hingga masa modern sekarang ini adalah untuk kepentingan mencari keuntungan, baik secara langsung atau melalui investasi modal. Semua itu tentu saja terjadi melalui usaha mengelola modal dan kerja keras dalam mengembang-kannya di sebagian besar kesempatan. Arti usaha mengoperasikan harta di sini adalah mencari keuntungan dan mengupayakan penambahan terhadap modal yang diinvestasikan. Oleh sebab itu, seorang usahawan muslim harus mengenal bingkai ilmu fiqih yang berkaitan dengan harta, usaha dan keuntungan melalui warisan ilmu-ilmu Islam, sebagai panduan mempelajari hukum-hukum syariat yang berkaitan dengan pengembangan usaha secara umum.

2.4.1 Definisi Usaha
Usaha secara etimologi artinya adalah kegiatan atau pekerjaan dalam bentuk umum. Secara terminologis sering digunakan untuk semua jenis pekerjaan manusia dan aktivitasnya, seperti dalam firman Allah:
وَقُلِ اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ وَسَتُرَدُّونَ إِلَى عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
Artinya : “dan Katakanlah: ‘Bekerjalah kamu’, Maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” (Q.S. At-Taubah : 105)
Namun terkadang digunakan untuk arti khusus: yakni keterampilan, profesi atau mencari rizki seperti, seperti dalam sabda Nabi:
مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَاماً قَطُّ خَيْرٌ مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ، وَإِنَّ نَبِيَّ اللهِ دَاوُدَ كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ
"Tidak ada makanan yang dimakan seseorang yang lebih baik dari makanan yang merupakan usaha tangannya sendiri. Karena Nabi Allah Daud makan dari hasil usaha tangannya sendiri." HR. Bukhari
Usaha dalam Islam dibatasi dengan dua hal: Keikhlasan dan ittiba' atau mengikuti Rasulullah. Yakni bahwa usahanya itu hen-daknya dilakukan untuk mencari keridhaan Allah dan hendaknya usahanya itu sesuai dengan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam . Allah berfirman:
قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلا صَالِحًا وَلا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
Artinya : “ Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa Sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa". Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya". (Q.S. Al-Kahfi : 110)
Kebenaran satu usaha tentu saja dilihat dari kesesuaian usaha itu dengan syariat. Sementara Allah tidak akan memberikan pahala pada satu amalan kecuali bila bertujuan mengharapkan keridhaanNya.
Ilmu dan amal dalam Islam tidak dapat dipisahkan. Oleh sebab itu orang yang beramal atau berusaha harus mempelajari hukum-hukum syariat yang berkaitan dengan bidang usahanya sehingga tidak tergelincir dan terjerumus dalam keharaman. Seorang bisnisman hendaknya mempelajari bagian ilmu fiqih yang berkaitan dengan berbagai aktivitas bisnis yang diharamkan.
Sebagaimana seorang pekerja wajib mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan bidang usahanya dari hukum-hukum syariat, ia juga harus menekuni dan mengerjakan pekerjaannya itu dengan baik, serta melakukan berbagai cara yang dapat menolongnya menyelesaikan pekerjaannya, dengan melatih dan mengajarkan ilmunya atau dengan cara lain. Terkecuali bila ia menipu kaum muslimin. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا
"Barangsiapa yang berbuat curang, maka ia bukan termasuk umatku."
Orang yang bekerja sebagai dokter tetapi tidak mengenal ilmu kedokteran, maka ia harus bertanggung jawab.

2.4.2 Macam – Macam Harta
A. Harta sebagai Nilai Tukar dan Sebagai Alat Barter
Alat barter memiliki padanan yang tersebar di pasar tanpa ada perbedaan yang berarti dalam penggunaannya. Ada yang ber-bentuk barang takaran, barang timbangan, barang bilangan, yang masing-masingnya tidak memiliki perbedaan nilai, contohnya seperti berbagai macam biji-bijian, telur dan kain tenunan dan sejenisnya.
Sementara nilai tukar tidak ada yang sejenisnya di pasaran. Kalaupun ada, nilainya jelas berbeda, seperti hewan, batu-batu mulia dan sejenisnya.
Konsekuensi pembedaan antara nilai tukar dengan alat barter adalah munculnya banyak hukum-hukum, kita sebutkan sebagian di antaranya: Alat barter (nilai riil) itu harus diganti dengan yang sama dengannya ketika terjadi kecurangan. Lain halnya dengan nilai tukar (nilai nominal), cukup ditukar dengan yang senilai dengannya saja. Alat barter bisa menjadi hutang dan dibayar dengan benda sejenis lainnya, karena ia bisa digambarkan bentuknya, sesuai dengan nilai riilnya. Sementara nilai tukar hanya bisa digam-barkan dengan wujud dan nilainya saja, atau sesuai dengan nilai nominal yang disepakati.
B. Hak – Hak Terhadap Harta
Yang pertama adalah harta pribadi. Harta ini tidak boleh disentuh oleh orang lain melain-kan dengan kerelaan hati pemiliknya. Sikap kriminal mengambil harta ini melalui pencurian misalnya, menyebabkan pelakunya harus dipotong tangannya. Bila tidak sampai dicuri, harus diberikan hukuman pelajaran. Berkaitan dengan diboleh-kannya memberi hukuman dengan sanksi harta/uang masih diperselisihkan dengan sengit di kalangan para ulama. Namun pendapat yang membolehkannya dianggap sebagai pendapat yang layak diikuti.
Yang kedua adalah harta milik Allah. Harta pada asalnya memang milik Allah. Manusia seluruhnya hanya diberi kesempatan memilikinya sementara. Konsekuensi dari hak Allah ini ada dua hal: Mengoperasikan harta ini sesuai dengan tuntunan syariat, mengeluarkan zakat yang wajib. Kaum fakir miskin ikut berserikat memiliki sebagian harta ini dengan hak mereka mendapatkan zakat.
Yang ketiga adalah harta milik bersama. Konsekuensi harta ini adalah didahu-lukannya kepentingan bersama daripada kepentingan pribadi ke-tika terjadi bentrokan, dengan memberikan kompensasi yang adil kepada pemilik harta tersebut sehingga hak-hak pribadi mereka.

2.4.3 Keuntungan
Keuntungan adalah selisih lebih antara harga pokok dan biaya yang dikeluarkan dengan penjualan. Kalangan ekonom mendefi-nisikannya sebagai: Selisih antara total penjualan dengan total biaya, total penjualan yakni harga barang yang dijual. Total biaya operasional adalah seluruh biaya yang dikeluarkan dalam pen-jualan, yang terlihat dan tersembunyi.
Karena perniagaan berarti jual beli dengan tujuan mencari keuntungan, maka keuntungan merupakan tujuannya yang paling mendasar, bahkan merupakan tujuan asli dari perniagaan.
Asal dari mencari keuntungan adalah disyariatkan, kecuali bila diambil dengan cara haram. Di antara cara-cara haram dalam mengeruk keuntungan adalah: keuntungan dari memperdagangkan komoditi haram, keuntungan dari perdagangan curang dan manipulative, keuntungan melalui penyamaran harga yang tidak wajar, keuntungan melalui penimbunan barang dagangan.
Batas maksimal keuntungan tidak ada dalam dalil syariat sehubungan dengan jumlah tertentu dari keuntungan sehingga bila melebihi jumlah tersebut dianggap haram, sehingga menjadi kaidah umum untuk seluruh jenis barang dagangan di setiap zaman dan tempat. Hal itu karena beberapa hikmah, di antaranya: perbedaan harga, perbedaan penjualan kontan dengan penjualan dengan pembayaran tertunda, perbedaan komoditi yang dijual.
Oleh sebab itu sebagaimana telah dijelaskan, tidak ada diriwayatkan dalam sunnah Nabi yang suci pembatasan keun-tungan sehingga tidak boleh mengambil keuntungan lebih dari itu. Bahkan sebaliknya diriwayatkan hadits yang menetapkan bolehnya keuntungan dagang itu mencapai dua kali lipat pada kondisi-kondisi tertentu, atau bahkan lebih dari itu.
Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Shahihnya, dari Urwah diriwayatkan bahwa Nabi a pernah memberinya satu dinar untuk dibelikan seekor kambing buat beliau. Lalu Urwah meng-gunakan uang tersebut untuk membeli dua ekor kambing. Salah satu kambing itu dijual dengan harga satu dinar, lalu ia datang menemui Nabi dengan membawa kambing tersebut dengan satu dinar yang masih utuh. Ia menceritakan apa yang dia kerjakan. Maka Nabi mendoakan agar jual belinya itu diberkati oleh Allah. Setelah itu, kalau saja ia mau membeli tanah, ia bisa menjualnya dengan mendapatkan keuntungan.
Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnadnya dari Urwah bahwa ia menceritakan: "Nabi pernah ditawarkan kambing dagangan. Lalu beliau mem-berikan satu dinar kepadaku. Beliau bersabda, 'Hai Urwa, datangi pedagang hewan itu, belikan untukku satu ekor kambing.' Aku mendatangi pedagang tersebut dan menawar kambingnya. Akhirnya aku berhasil membawa dua ekor kambing. Aku kembali dengan mem-bawa kedua ekor kambing tersebut -dalam riwayat lain 'meng-giring kedua kambing itu'- Di tengah jalan, aku bertemu seorang lelaki dan menawar kambingku. Kujual satu ekor kambing dengan harga satu dinar. Aku kembali kepada Nabi dengan membawa satu dinar berikut satu ekor kambing. Aku berkata, 'Wahai Rasulullah! Ini kambing Anda dan ini satu dinar juga milik Anda!' Beliau bertanya, "Apa yang engkau lakukan?" Aku menceritakan semuanya. Beliau bersabda, 'Ya Allah, berkatilah keuntungan perniagaannya.' Kualami sesudah itu bahwa aku pernah berdiri di Kinasah di kota Kufah, aku berhasil membawa keuntungan empat puluh ribu dinar sebelum aku sampai ke rumah menemui keluargaku." HR. Ahmad di dalam Musnadnya.
Diriwayatkan dengan shahih bahwa Zubair bin al-Awwam pernah membeli sebuah tanah hutan, yakni sebidang tanah luas di daerah tinggi di kota Madinah dengan harga seratus tujuh puluh ribu dinar. Namun kemudian ia menjualnya dengan harga satu juta dinar. Yakni menjualnya dengan harga berlipat-lipat kali lebih mahal.
Hal yang perlu dicermati di sini, bahwa semua kejadian itu tidak mengandung unsur penipuan, manipulasi, monopoli, me-manfaatkan keluguan pembeli, ketidaktahuannya, kondisinya yang terpepet atau sedang membutuhkan, lalu harga ditinggikan.
Di sisi lain, semua kejadian ini tidaklah menggambarkan kai-dah umum dalam mengukur keuntungan. Justru sikap memberi kemudahan, sikap santun dan puas dengan keuntungan yang sedikit itu lebih sesuai dengan petunjuk para ulama salaf dan ruh kehidupan syariat.
Orang yang puas dengan keuntungan sedikit pasti usahanya akan penuh dengan berkah. Ali biasa keliling pasar Kufah dengan membawa tongkat sambil berkata, "Hai para pedagang, ambillah hak kalian, kalian akan selamat. Jangan kalian tolak keuntungan yang sedikit, karena kalian bisa terhalangi mendapatkan keun-tungan besar.."
Sebagaimana pendapat yang mengatakan bahwa para pe-dagang bebas membatasi keuntungan mereka dalam batas-batas yang sesuai dengan kaidah-kaidah syariat secara umum, tidaklah menghalangi pemerintah untuk melakukan standarisasi harga dan memaksa para pedagang untuk menjual barang dagangan mereka dengan harga tertentu, tidak boleh lebih dari itu, apabila kondisi mendesak ke arah itu dan terdapat situasi yang mengharuskan adanya standarisasi harga tersebut.




2.5. Perbedaan Sistem Ekonomi Syari’ah dengan Sistem lain
2.5.1. Perbedaan Sistem Ekonomi Syari’ah dengan Kapitalis
Dalam sistem ekonomi kapitalis kegiatan ekonominya ditentukan oleh mekanisme pasar. Semua aktivitas ekonomi ditentukan oleh mekanisme pasar. Dasar pemikiran yang digunakan adalah bahwa, semua orang merupakan makhluk ekonomi yang berusaha untuk meme-nuhi kebutuhannya yang tidak terbatas dan akan terus berusaha memenuhinya sekuat kemampuannya. Semua orang berhak untuk memenuhi kebutuhannya sebanyak-banyaknya dan berhak atas kekayaan yang dimilikinya secara penuh. Faktor-faktor produksi dapat dikuasai secara individu dan digunakan oleh yang bersang-kutan sesuai dengan keinginannya tanpa dibatasi sepanjang sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Dalam islam manusia sebagai wakil atau kalifah Tuhan di dunia tidak mungkin bersifat individualistik, karena semua (kekayaan) yang ada di bumi adalah milik Allah semata, dan manusia adalah kepercayaannya di bumi.
Berbeda dari Kapitalisme karena Islam menentang eksploitasi oleh pemilik modal terhadap buruh yang miskin, dan melarang penumpukan kekayaan. Firman Allah SWT :
وَيْلٌ لِكُلِّ هُمَزَةٍ لُمَزَةٍ (١)الَّذِي جَمَعَ مَالا وَعَدَّدَهُ (٢)
Artinya : “ kecelakaanlah bagi Setiap pengumpat lagi pencela. yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitung.” (Q.S. Al-Humazah : 1-2)
2.5.2. Perbedaan Sistem Ekonomi Syari’ah dengan Sosialis
Dalam sistem Sosialisme kekuasaan negara sangat kuat dan menentukan. Kebebasan perorangan yang dinilai tinggi dalam Islam jelas bertentangan dengan ajaran Sosialisme sehingga terjadi ketidakseimbangan ekonomi. Firman Allah SWT :
مَا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَى فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ كَيْ لا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الأغْنِيَاءِ مِنْكُمْ وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Artinya :” Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu. apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya.” (Q.S. Al-Hasyr : 7)

2.6. Perkembangan Sistem Ekonomi Syari’ah
2.6.1. Perkembangan Sistem Ekonomi Syari’ah di Indonesia
Di Indonesia perkembangan ekonomi syari’ah sangat pesat mulai dari bank syari’ah, pegadaian syari’ah, asuransi takaful, islamic investment companies, dealer islamic investment bank, badan amil dan zakat.

2.6.1. Perkembangan Sistem Ekonomi Syari’ah di Dunia
Empat bank di Afrika menyempurnakan sistem perbankan syari’ah yakni : Banque Islamique du Sénégal, Banque Islamique de Mauritanie, Banque Islamique de Guinée, dan Banque Islamique du Niger pour le Commerce et l’Investissement.
ada 22 bank di Inggris yang menawarkan keuangan syari’ah dengan 5 diantaranya murni dengan sistem ekonomi syari’ah.
Tahun 2010 perusahaan asal Inggris berbasis teknologi inovatif menjadi perusahaan pertama yang tumbuh dengan ekonomi syari’ah yakni melalui sukuk.
Inggris menjadi yang pertama membuka saham syari’ah lalu diikuti bursa saham Bombay.
Hanya Negara yang menggunakan sistem ekonomi syari’ah saja yang tidak terlalu signifikan kerugiannya pada saat terjadi krisis global.







BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
1. Dasar ekonomi islam bearsal dari Al-Qur’an dan Hadits sehingga mempunyai beberapa prinsip dasar, diantaranya : Tawhid (segala sesuatunya hanya milik Allah), Khilafah (manusian sebagai khalifah di muka bumi), Adl (keadilan).
2. Tujuan akhir ekonomi islam adalah sebagaimana tujuan dari syariat islam itu sendiri ( maqashid asy syari`ah ) yaitu mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Harta yang menjadi nilai tukar (uang), adalah yang tidak ada padanannya di pasaran, kalaupun ada jelas tidak sama nilainya seperti binatang dan batu-batu mulia. Sementara Kesimpulan yang diambil dari hasil penulisan makalah ini terdiri dari beberapa poin, yaitu :
3. harta yang menjadi alat barter adalah yang memiliki padanan di pasaran tanpa ada perbedaan yang berarti ketika dilakukan transaksi penukaran.
4. Hak- hak terhadap harta ada tiga :
a. Harta pribadi, harta ini tidak boleh disentuh oleh orang lain melain-kan dengan kerelaan hati pemiliknya.
b. Harta milik Allah, manusia seluruhnya hanya diberi kesempatan memilikinya sementara.
c. Harta milik bersama, didahulukannya kepentingan bersama daripada kepentingan pribadi ke-tika terjadi bentrokan.
5. Usaha dalam Islam dibatasi dengan dua hal : keikhlasan dan ittiba' atau mengikuti Rasulullah. Yakni bahwa usahanya itu hendaknya dilakukan untuk mencari keridhaan Allah dan hendaknya usahanya itu sesuai dengan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam .
6. Seorang pekerja wajib mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan bidang usahanya dari hukum-hukum syariat. Selain itu juga harus bertanggung jawab terhadap penguasaan ilmu di bidang usahanya.
7. Tidak ada pembatasan keuntungan tertentu sehingga haram mengambil keuntungan lebih dari itu, akan tetapi semua itu tergantung pada aturan penawaran dan permohonan, tanpa menghilangkan sikap santun dan simpel.
8. Ada beberapa hal yang bertentangan dengan sistem ekonomi islam yang bersarkan Al-Qur’an dan Hadits terhadap sistem ekonomi lain seperti sistem ekonomi kapitalis dan sistem ekonomi sosialis semua itu untuk menutupi kekurangan yang dimiliki oleh sistem ekonomi selain syari’ah.
9. Sebagai seorang muslim harus menggunakan sistem ekonomi syari’ah dalam kegiatan ekonominya.
10. Implementasi sistem ekonomi syari’ah tidak boleh berlawanan dengan aturan al-Qur’an dan Hadist.

3.2. Saran-saran
Saran – saran dari kami terhadap implementasi sistem ekonomi syari’ah terdiri dari beberapa poin, yaitu:
1. Sebaiknya menjadikan Nabi Muhammad SAW teladan dalam melakukan suatu usaha.
2. Tidak keluar dalam jalur peratutan al-Qur’an dan Hadits sebagai dasar dari sistem ekonomi islam dalam menjalankan kegiatan ekonomi.
3. Dalam melakukan suatu usaha hendaknya menyadari akan kewajiban mengeluarkan zakat dan selalu berpegang kepada prinsip bahwa segala sesuatu ataupun kekayaan di muka bumi ini hanyalah milik Allah SWT, sehingga sudah sepantasya manusia tidak bersikap individualistik dalam mengelola hartanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar